Kamis, 25 Februari 2010
Al Qur’an dan Al Sunnah Mencerahkan Kehidupan Manusia
Oleh : DR.H. Hidayat Nurwahid
Hari-hari ini kita kembali menyaksikan, merasakan dan melihat karunia Allah yang hadir terus menerus dan tidak akan berhenti kepada kita umat Islam khususnya umat Islam di Indonesia. Kita kembali betapa satu dari sekian banyak syari’ah Allah bila dilaksanakan ketika kita melihat sebahagian saudara-saudara kita akan dan sebahagian sudah berangkat kembali untuk melaksanakan ibadah haji. Tentu saja karunia Allah yang sangat besar ini kita maknai sebagai bagian dari karunia-karunia yang memang telah dihadirkan oleh Allah, agar kita dapat mensyukurinya, dengan mengambilnya sebagai pelajaran yang penting.
Ibroh yang paling utama salah satu diantarnya, bahwa kita dari salah satu umat Islam, termasuk umat Islam di indonesia , oleh Allah SWT selalu diberikan sarana, agar tidak pernah lupa dengan Baitullah, tak pernah lupa dengan Sya’arullah, tidak pernah lupa kita melaksanakan hak-hak sebagai hamba Allah, siapapun kita, bahkan kita adalah kelompok masyarakat yang dimudahkan oleh Allah untuk mendapatkan kemampuan, mempunyai kekuatan untuk kemudian karenaNya untuk bisa melaksanakan kewajiban berhaji.
Kemampuan terkait dengan pelaksanaan kekuatan, terkait dengan masalah ekonomi, kesehatan, kesempatan, rizki, keberkahan, Allah SWT memberikan kepada kita satu sarana, agar kelebihan-kelebihan yang diberikan kepada kita tidak membuat kita menjadi lupa kepada Allah SWT, lupa ajaran Allah / pada Syari’ahNya, justru kita kembali diberikan Allah suatu bukti dan satu sarana bahwa karunia Allah yang diberikan kepada kita baik berupa harta, kedudukan, kesempatan, ternyata bisa dipergunakan oleh saudara-saudara kita untuk merialisasikan ubudiyah kepada Allah dengan melaksanakan ibadah haji.
Satu hal yang mudah-mudahan kita selalu teringat, akan fatwa syukur kepada Allah SWT, hal yang amat menjadi penting hari inipun kita di sisi yang lain, masih merasakan betapa banyak kegetiran betapa banyak yang pahit, betapa banyak hal yang menyusahkan kehidupan kita sebagai bangsa, sebagai umat, belum selesai problema dengan lumpur di Sidoarjo, kembali kemarin terjadi ledakkan yang mengakibatkan bukan saja lubernya lumpur, tapi terjatuhnya korban saudara-saudara kita yang bertugas dan mereka pasti tidak berdosa.
Dan kemarin pun kita melihat dan membaca berita bagaimana seorang suami menembak seorang istrinya sendiri, kemudian ia berupaya untuk bunuh diri, tapi ajal belum sampai kepada dia, dan jadilah dia sekarang pesakitan. Begitu banyak masalah-masalah yang seolah-olah kemudian membawa kita kepada lingkaran syaetan, krisis yang seolah-olah karenanya tidak memberikan harapan kepada kita untuk bangkit keluar dari lingkaran syaetan ini. Dari dua kondisi yang telah saya sampaikan, kita sebagai umat yang beragama, apalagi yang penduduknya mayoritas beragama Islam ini.
Tentulah kita tidak boleh terjebak berlama-lama termangu, seolah-olah tidak mempunyai pedoman, seolah-olah kita berada di tengah-tengah gelap gulitanya kegelapan dan kezholiman. Sesungguhnya Allah telah memberikan suatu panduan kehidupan amat sangat yang mencerahkan yaitu Al Islam, dengan Al Qur’an, panduan yang kongkrit yaitu As Sunnah. Kita akan mendapatkan bahwa kehidupan memang tidaklah selamanya terang benderang, cerah mencerahkan, mudah seperti apa yang kita bayangkan, bahkan sesungguhpun apabila jamaah haji kita akan berangkat ke Makkah dan Madinah, mereka akan menadapat satu kondisi Makkah dan Madinah dan apalagi kalau mereka membaca siroh Nabawiyah, perjuangan Nabi Muhammad SAW,
sejarah diturunkan Al Qur’anul Karim kepada beliau kita akan mendapatkan Nabi dan Islam, hadir ditengah kekosongan budaya tidaklah hadir ditengah masyarakat yang tidak mempunyai interes-interes yang kemudian menghadirkan beragam tragedi, problema, termasuk juga untuk meredupkan upaya agama Allah, cahaya Al Qur’an. Tidak mengetahui bagaimana masyarakat Makkah, bagaiman kejahiliyahannya begitu luar biasa, seperti digambarkan dengan bagus oleh Umar bin Khathab ra, ketika beliau sudah menjadi Kholifah, didapatkan oleh seorang umat beliau sedang menangis dan tertawa, umat ini kemudian bertanya, wahai Kholifah apa yang terjadi, baginda tadi menangis kemudian tertawa,
Khalifah Umar RA kemudian menjawab, aku teringat dengan masa pra Islam, dengan masa jahiliyyah dahulu, aku menagis betapa zholimnya masyarakat, mereka mempunyai anak perempuan, anak yang sudah lama mereka nantikan, tapi begitu mereka datang kemudian mematikan dan dikubur hidup-hidup. Menangislah aku, betapa rendahnya kwalitas kemanusian di waktu itu, tetapi aku tertawa mengingat ketika masa jahiliyah pra Islam dahulu, betapa bodohnya kami, pada waktu itu kami membuat tuhan dari tepung-tepung yang kami kumpulkan, kemudian kami bentuk menjadi tuhan-tuhanan, kemudian kami sembahlah tuhan yang dibuat sendiri dan kemudian setelah selesai prosesi penyembahan, tuhan yang kami bentuk itu kami menyantapnya dan memakannya, betapa amat menggelikanya.
Itulah kondisi pra Islam, kondisi pra hijrahpun amat sangat menyesakkan, sebelum Rasulullah berhijrah ke Madinah Al Munawaroh, satu kota yang akan dikunjungi oleh saudara-saudara kita para jamaah haji, mereka ziarah ke Madinah Al Munawaroh, ke masjid An Nabawi, sebelum Rasulullah berhijrah ke sana, al Madinah adalah satu kota yang disebut dengan Yastrib, satu ungkapan yang sangat berdekatan maknanya dengan segala yang menghadirkan kerusakan, kerugian, kehancuran, yang tidak harmonis itulah yang terjadi.
Begitulah masyarakat Madinah pra hijrah, komplik terus menerus yang dipropokasikan oleh komunitas Yahudi yang menghadirkan hegemoni tunggal atas kehidupan di Madinah, mereka menguasai kehidupan perokomian di Madinah, dan menguasai dalam seluruh setratanya, baik dalam stratanya ekonomi, sosial, politik, tehnologi, airpun mereka kuasai, kebunpun mereka kuasai, pasar mereka kuasai, opini mereka kuasai, bahkan mereka tidak cukup dengan itu, dalam rangka mengokohkan hegemoni yang mereka miliki,.
Mereka terus-menerus melemahkan faktor pesaing yang ada di Madinah yang berada dikalangan Arab, dan untuk itulah mereka melakukan upaya untuk mengadu domba antara orang-orang Arab yang berada di Madinah, antara Haoz dan Khazraj, menyebarkan fitnah dan informasi, melakukan beragam cara agar orang-orang Arab itu bisa dilemahkan dan karena hegemoni Yahudi tidak bisa diganggu gugat. Terjadilah salah satunya perang Bu’at, 40 tahun lamanya, Haoz dan Khazraj terjebak perang di antara mereka, kita bisa bayangkan bagaimana kondisi warga bangsa yang terjebak dalam perang yang permanen, dikipas terus menerus oleh bangsa yang lebih besar yaitu orang-orang Yahudi, tapi itu memang kondisi Yastrib pra Hijrah.
Seperti juga kondisi Makkah pra Hijrah, kondisi yang amat sangat menyesakkan, seolah-olah tidak ada masa depan, seolah-olah yang ada adalah kegelapan dan kegelapan. Tetapi yang terjadi kemudian adalah Allah menghadirkan Al Islam , menghadirkan Saiyyidina Muhammad SAW, sebagai nabi dan sebagai rasul, kemudian masyarakat dikeluarkan dari kegelapan keterang benderang, segala bentuk kegelapan itu, segala bentuk kezholiman itu, kepada cahaya Al Islam dan kemudian munculah masyarakat yang baru, masyarakat yang madani, masyarakat yang membawa kerahmatan lilalamin.
masyarakat yang sangat unggul, yang dinilai oleh para ulama termasuk Said Jamaluddin Ahwani dalam salah satu kitabnya Aroddu Adahriyin, ia mengatakan adalah salah satu dari kemu’zizatan Islam adalah selain hadirnya Al Qur’an, selain hadirnya Rasululoh SAW dengan segala kemu’zizatanya, salah satu kemu’zizatanya adalah kemukzizatan sosial, dimana dalam salah satu waktu yang pendek telah hadir salah satu komunitas yang baru, masyarakat yang sama sekali yang berbeda , masyarakat yang sukses, masyarakat yang menghadirkan peradaban yang baru, peradaban yang sangat manusiawi,
masyarakat yang mencerahkan, masyarakat yang akan hadirnya umat manusia dalam waktu yang sangat pendek, peradaban ini bisa menyebar, bukan hanya terbatas di Jazirah Arabia bahkan kemudian mengikuti tulisan Ibnu Robbi dalam tulisannya Asl Ibdu Farid dalam abad pertama Hijriyahpun Al Islam telah sampai ke bumi Nusantara kekerajaan Sriwijaya, telah diadakan surat menyurat antara Khulapa Daula Ummayah, di Damaskus termasuk juga dengan Khalifah Ar Rosyid Umar Abdul Azis,
Saya menegaskan sekali lagi bahwa apa yang kita dapatkan sekarang ini dalam dua demensi adalah sebagai Allah tegaskan dalam surah Al Muluk
: الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُmaksudnya: “Allah menghadirkan ini seluruhnya adalah sebagai ibtila sebagai ujian, agar Allah bisa mendapatkan suatu bukti siapa yang diantar kita yang paling baik amalnya” (Al Muluk : 2) tentulah dikarenanya dengan pendekatan ini, mengambil salah satu hikmah dari yang hadir sebagai salah satu ujian agar kita menjadi salah satu pihak yang berlomba-lomba menghadikran kebaikan, lomba yang menghadirkan yang lebih baik, lomba pelajaran yang unggul dari peristiwa yang ada
Mudah-mudahan keberangkatan jamaah haji kita akan membawa kepada kita semuanya pembelajaran yang penting dan sekaligus mengingatkan kepada mereka agar mereka memaksimalkan keberangkatan mereka untuk menjadikan diri mereka sebagai haji yang mabrur dan dengan kemabruranya akan membawa kepada kita semangat baru untuk terus menerus menapaki kebaikan dari pada Al Islam,
dengan kemabruran mereka mudah-mudahan akan selalu membawa kepada kita kader-kader umat dan kader-kader bangsa yang tidak pernah berhenti untuk beramal sholeh, mudah-mudahan doanya dikabulkan Allah dan mudah-mudahan doanya itu diantaranya adalah agar umat dan bangsa kita segera bangkit keluar dari krisisnya, para pimpinannya, umatnya dan siapun juga supaya betul-betul menjadi umat dan masyarakat yang muttaqun. (ds)
Tujuan Dan Tugas Seorang Muslim
Oleh : Prof.DR.H.A. Bachmid
v Tujuan hidup seorang Muslim.
Jarang orang merumuskan tujuan hidupnya. Merumuskan apa yang dicari dalam hidupnya, apakah hidupnya untuk makan atau makan untuk hidup. Banyak orang sekedar menjalani hidupnya, mengikuti arus kehidupan, terkadang berani melawan arus, dan menyesuaikan diri, tetapi apa yang dicari dalam melawan arus, menyesuaikan diri dengan arus atau dalam pasrah total kepada arus, tidak pernah dirumuskan secara serius. Ada orang yang sepanjang hidupnya bekerja keras mengumpulkan uang, tetapi untuk apa uang itu baru dipikirkan setelah uang terkumpul, bukan dirumuskan ketika memutuskan untuk mengumpulkannya.
Ada yang ketika mengeluarkan uang tidak sempat merumuskan tujuannya, sehingga hartanya terhambur-hambur tanpa arti. Ini adalah model orang yang hidup tidak punya konsep hidup. Sesungguhnya secara fithri, terutama ketika melakukan sesuatu untuk kebutuhan dasarnya selalu ingat tujuan. Ketika seseorang ingin menjadi insinyur dia masuk Fakultas Tehnik, bila ingin menjadi Dokter maka ia masuk Fakultas kedokteran, bila ingin jadi ahli ekonomi maka masuk Fakultas Ekonomi, dan bila ingin menjadi pemimpin maka ia harus mengadakan manuver politik mencari legitimasi dari kaum muslimin atau masyarakat.
Rumusan tujuan hidup yang didasari oleh ajaran agama menempati posisi sentral, yakni orang yang hormat dan tunduk kepada nilai-nilai agama yang diyakininya, melalui figure Ulama Kharismatik, atau menurut kitab suci. Menurut ajaran Islam, tujuan hidup manusia ialah untuk menggapai ridha Allah, ibtigha mardhatillah. Firman Allah
: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِـغَاءَ مَرْضَاةِ اللهِ وَاللهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ ,
artinya : “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya” (QS. 2 Al Baqarah : 207). Ridha artinya senang. Jadi segala pertimbangan tentang tujuan hidup seorang Muslim, terpulang kepada apakah yang kita lakukan dan apa yang kita gapai itu sesuatu yang disukai atau diridhai Allah SWT atau tidak. Jika kita berusaha memperoleh ridha-Nya, maka apapun yang diberikan Allah kepada kita, kita akan menerimanya dengan ridha (senang) pula, ridha dan diridhai (radhiyatan mardhiyah).
Kita bisa mengetahui sesuatu itu diridhai atau tidak oleh Allah. Tolok ukur pertama adalah syariat atau aturan agama, sesuatu yang diharamkan Allah pasti tidak diridhai; dan sesuatu yang halal pasti diridhai, sekurang-kurangnya tidak dilarang. Selanjutnya nilai-nilai akhlak akan menjadi tolok ukur tentang kesempurnaan, misalnya memberi kepada orang yang meminta karena kebutuhan adalah sesuatu yang diridhai-Nya; tidak memberi tidak berdosa tetapi kurang disukai.
Indikator ridha Allah juga dapat dilihat dari dimensi horizontal, Nabi bersabda : “Bahwa ridha Allah ada bersama ridha kedua orang tua, dan murka Allah ada bersama murka kedua orang tua”. Semangat untuk mencari ridha Allah sudah barang tentu hanya dimiliki orang-orang yang beriman, sedangkan bagi mereka yang tidak mengenal Tuhan, tidak mengenal agama, maka boleh jadi pandangan hidupnya dan prilakunya sesat, tetapi mungkin juga pandangan hidupnya mendekati pandangan hidup orang yang minus beragama, karena toh setiap manusia memiliki akal yang bisa berfikir logis dan hati yang di dalamnya ada nilai kebaikan.
Metode untuk mengetahui Tuhan juga diajarkan oleh Nabi dengan cara bertanya kepada hati sendiri, istifti qalbaka. Orang bisa berdusta kepada orang lain, tetapi tidak kepada hati sendiri. Hanya saja hati orang berbeda-beda. Hati yang gelap, hati yang kosong, dan hati yang mati tidak bisa ditanya. Hati juga kadang-kadang tidak konsisten, oleh karena pertanyaan paling tepat kepada hati nurani, Nurani berasal arti kata nur, cahaya. Orang yang nuraninya hidup maka ia selalu menyambung dengan ridha Tuhan. Problem hati nurani adalah cahaya nurani sering tertutup oleh keserakahan, egoisme, dan kemaksiatan.
v Tugas Hidup Seorang Muslim
Rumusan tugas hidup seorang muslim bisa dibuat berdasarkan citarasa sebagai manusia yang hidup di tengah realita objektip, oleh karena itu rumusan tugas hidup dapat berbeda-beda. Menurut ajaran Islam, tugas hidup manusia, sepanjang hidupnya hanya satu tugas, yaitu menyembah Allah, Sang Pencipta, atau dalam bahasa harian disebut ibadah. Disebutkan dalam Al Qur’an bahwa tidaklah Tuhan menjadikan Jin dan Manusia kecuali untuk menyembah kepada-Nya. Menjalankan ibadah bukanlah tujuan hidup, tetapi tugas yang harus dikerjakan sepanjang hidupnya.
Ibadah mengandung arti untuk menyadari dirinya kecil tak berarti, meyakini kekuasaan Allah Yang Maha Besar, Sang Pencipta, dan disiplin dalam kepatuhan kepada-Nya. Oleh karena itu orang yang menjalankan ibadah mestilah rendah hati, tidak sombong, dan disiplin. Itulah etos ibadah. Ibadah ada yang bersifat mahdhah/murni, yakni ibadah yang hanya memiliki satu dimensi, yaitu dimensi vertikal, patuh tunduk kepada Allah Yang Maha Kuasa, seperti shalat, puasa, ada ibadah yang bersifat material-sosial seperti; zakat dan sadaqah, ada ibadah bersifat fisik seperti ibadah haji.
Ibadah juga terbagi menjadi dua klasifikasi; ibadah khusus dan ibadah umum. Ibadah khusus adalah ritual yang bersifat baku yang ketentuannya langsung dari wahyu atau dari Nabi Muhammad SAW, sedangkan ibadah umum adalah semua perbuatan yang baik, dikerjakan dengan niat baik dan dilakukan dengan cara yang baik pula. Ibadah khusus seperti shalat lima waktu sehari semalam adalah tugas, taklif dari Allah SWT yang secara khusus diperuntukkan kepada orang-orang mukmin yang telah baligh. Puasa, Zakat (zakat fitrah, zakat mal) bagi yang telah memenuhi syaratnya, dan ibadah haji bagi yang mampu, memotong hewan kurban bagi yang mampu semuanya adalah taklif.
Dan ibadah ghairu mahdhah, seperti berbisnis, karena inti dari berbisnis adalah membantu mendekatkan orang lain dari kebutuhannya. Menuntut ilmu adalah ibadah yang sangat besar nilainya asal dilakukan dengan niat baik dan cara yang baik pula. Bahkan menunaikan syahwat seksual yang dilakukan dengan halal (suami isteri) dan dilakukan dengan cara baik (ma’ruf) adalah ibadah. Dengan demikian kita dapat melakukan tugas ibadah dalam semua aspek kehidupan kita, sesuai dengan bakat, minat, dan profesi kita. Perbedaan pandangan hidup akan menghasilkan perbedaan nilai dan persepsi.
Orang yang tidak mengenal ibadah, mungkin sangat sibuk dan lelah mengerjakan tugas sehari-hari, tetapi nilainya nol secara vertikal, sementara orang yang mengenal ibadah, mungkin sama kesibukannya, tetapi cara pandangannya berbeda dan berbeda pula dalam mensikapi kesibukan, maka secara psikologis/kejiwaan ia tidak merasa lelah karena merasa sedang beribadah.
v Peran dalam pentas kehidupan
Dalam hal ini manusia memiliki dua peran utama; pertama sebagai hamba Allah, dan peran kedua sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sebagai hamba Allah manusia adalah kecil dan tidak memiliki kekuasaan, oleh karena itu tugasnya hanya menyembah kepada-Nya dan berpasrah diri kepada-Nya. Namun, sebagai khalifah, manusia diberi fungsi, peran yang sangat besar, karena Allah Yang Maha Besar maka manusia sebagai wakil Allah di muka bumi memiliki tanggungjawab dan otoritas yang sangat besar. Sebagai khalifah manusia diberi tugas untuk mengelola alam semesta ini untuk kesejahteraan manusia.
Dari ketiga dimensi tersebut; Tujuan Hidup seorang muslim, tugas hidup, dan peranannya dalam kancah kehidupan dunia, dapat kita sarikan dalam sifat-sifat moral yang harus dimiliki seorang muslim adalah: Beramal shaleh, menghindari dosa, menyuruh berbuat baik, melarang berbuat munkar (amar ma’ruf nahi munkar), jujur dan mencela kebohongan, bersikap sederhana dan menjauhi pemborosan. Dalam segala hal, adil, lemah lembut dalam berbicara, menghindari perkataan yang buruk dan fitnah, sedia memaafkan, menghindari keangkuhan dan kesombongan, sabar, mengendalikan diri dan waspada, tidak kejam, sedia bertindak sebagai penengah dan pembuat perdamaian, berpegang teguh kepada keimanan, setia, dermawan, berbakti kepada kedua orang tua, berbuat baik kepada seluruh tetangga dan kerabat, sederhana, melaksanakan sumpah, menghindari sumpah palsu, dan sifat paling mulia adalah taqwa
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللهِ أَتْقَاكُمْ “Orang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling taqwa” (QS. 49 Hujurat : 13)
DIarsipkan di bawah: Tak Berkategori | Leave a Comment »
Langganan:
Komentar (Atom)
